Tradisi Mandi Safar: Saat Laut, Doa dan Tawa Menyatu di Pulau Terluar Indonesia

Berita

Oleh: Edi Akbar

HALOBERAU – Ombak pagi di Pulau Maratua berdesir pelan, seolah ikut menyambut hari yang ditunggu-tunggu. Di dermaga-dermaga kecil, perahu-perahu klotok mulai terisi penuh oleh warga Suku Bajau di Pulau Maratua. Wajah-wajah ceria, tangan yang sibuk membawa ketupat ketan, tenda, dan hidangan, berpadu dengan semilir angin laut yang asin.

Dari kejauhan, suara mesin perahu berbaur dengan teriakan anak-anak yang tak sabar menuju Gunung Sentubunghamparan pasir putih di tengah karang atol, pusat perayaan Mandi Safar digelar.

Pulau Maratua, salah satu garis terdepan Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia dan tak jauh dari Filipina. Pulau Maratua adalah rumah bagi ribuan warga Suku Bajau. Meski mereka telah menetap di darat, laut tetap menjadi urat nadi kehidupan, sumber penghidupan, ruang bermain, dan altar alam tempat doa-doa dipanjatkan.

“Setiap satu rumah membawa tujuh ketupat. Kenapa tujuh? Angka tujuh itu simbol berbagi rezeki bagi suku Bajau,” ujar Murdami, tokoh adat setempat, sambil menata ketupat di atas tikar. 

“Semua ketupat ini kita doakan bersama, lalu dibagikan ke siapa saja yang hadir. Harapannya, memberi manfaat bagi semua. Laut bagi kami bukan sekadar tempat mencari makan, tapi sahabat yang harus dihormati,” lanjutnya bercerita.

Tradisi Mandi Safar digelar setiap bulan Safar dalam kalender Hijriah, kerap bertepatan dengan purnama. Perpaduan ajaran Islam dan kearifan lokal membentuk ritual sakral ini, yang diyakini membawa perlindungan dari marabahaya dan membersihkan diri, lahir dan batin.

Sesampainya di gusung, warga dari empat kampung berkumpul, ketupat yang dibawa dari rumah dikumpulkan jadi satu. Tidak ada lagi kepemilikan, semuanya bercampur, menyimbolkan kebersamaan dan kesetaraan. Pembacaan Surat Yasin pun menggema, dipimpin tokoh agama dan tokoh adat.

Ketika doa selesai, ketupat dibagikan kembali. Jumlahnya genap untuk setiap orang, lalu disantap bersama keluarga. Tenda-tenda sederhana berdiri di tepi pasir, aroma masakan menguar, dan obrolan hangat menyebar.

“Tradisi Mandi Safar di Maratua adalah contoh hidup akulturasi budaya dan agama,” tutur Prof. Widyatmike, Guru Besar Bahasa dan Budaya Universitas Mulawarman. 

“Nilai-nilai Islam menyatu dengan kearifan lokal Suku Bajau, menghasilkan ritual yang tidak hanya sakral, tetapi juga memperkuat solidaritas sosial dan identitas masyarakat pulau,” jelasnya.

Menjelang siang, puncak acara dimulai. Di sisi gusung yang ditandai sebuah pohon, kaum perempuan lebih dulu berbaris, disusul para lelaki. Air laut disiramkan berulang kali ke tubuh, diiringi doa yang lirih tapi khidmat. Gelak tawa anak-anak pecah ketika percikan air mengenai wajah mereka, seolah ritual suci ini juga menjadi pesta riang gembira.

Di bawah langit biru dan di atas lautan yang membentang tanpa ujung, Mandi Safar menjadi pengingat bahwa harmoni dengan alam adalah fondasi kehidupan di pulau terluar. Bagi Suku Bajau, ini bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan janji untuk menjaga laut, kebersamaan, dan warisan leluhur agar ombak dan doa tetap berjalan seirama, selamanya. (ed*)