HALOBERAU – Dugaan pencemaran Sungai Daluman di Kampung Pegat Bukur, Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, kian memantik perhatian publik. Perubahan warna air sungai dari jernih menjadi keruh pekat dan berwarna cokelat tua memicu kekhawatiran warga. Kondisi ini diduga kuat disebabkan limbah tambang batu bara yang mengalir langsung ke aliran sungai.
Merespon laporan warga Kampung Pegat Bukur, Anggota DPRD Berau Komisi II, Agus Uriansyah, menegaskan perlunya langkah cepat dan tegas dari pemerintah daerah, khususnya Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Berau.
“Kami minta DLHK segera menyampaikan hasil uji laboratorium secara terbuka. Masyarakat berhak tahu kebenaran kondisi sungai ini. Kalau terbukti tercemar limbah tambang, perusahaan harus diberi sanksi tegas,” kata Agus saat ditemui awak media, Minggu (10/8/2025).
Agus menyebut, pencemaran lingkungan hidup telah diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, di mana pasal 69 melarang setiap orang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sanksinya diatur dalam Pasal 98 hingga Pasal 103, yang dapat berupa pidana penjara hingga 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku pencemaran.
“Ini bukan sekadar persoalan lingkungan, tapi juga menyangkut pelanggaran hukum. Kalau ada bukti kuat, harus ada tindakan hukum, bukan hanya teguran,” tegasnya.
Selain itu, Agus juga mengingatkan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur kewajiban perusahaan tambang untuk melakukan pengelolaan limbah secara ketat.
“Perusahaan punya kewajiban memastikan air buangan dari operasional tambang memenuhi baku mutu lingkungan sebelum dilepaskan ke alam,” ujarnya.
Terkait permasalahan ini, DPRD Berau akan memanggil pihak PT Supra Bara Energi (SBE) yang diduga mencemari sungai, serta DLHK untuk memberikan penjelasan resmi terkait hasil uji laboratorium. Agus menegaskan, kasus ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut karena menyangkut kesehatan warga, kelestarian ekosistem sungai, dan keberlangsungan sumber air minum di Pegat Bukur, Bena Baru, dan Inaran.
Dugaan pencemaran ini mencuat setelah warga bersama DLHK melihat langsung kondisi sungai pada Rabu lalu. Air berwarna cokelat pekat terlihat jelas, berbeda jauh dari kondisi normal.
Yuli (47), warga yang telah tinggal di Pegat Bukur sejak 1980, mengaku sungai itu dulu menjadi sumber air utama, namun sejak tambang beroperasi, air tak lagi bisa digunakan.
Senada dengan, Dirwansyah, warga lainnya, menyebut pencemaran telah merusak ekosistem sungai sekaligus mengancam pasokan air bersih. Ia menilai pencabutan izin tambang bisa menjadi solusi terbaik jika pelanggaran terbukti.
Hingga berita ini diturunkan, pihak PT SBE belum memberikan keterangan resmi. Kepala Teknik Tambang PT SBE, Hendra, yang berada di lokasi saat pengecekan, memilih bungkam ketika dimintai tanggapan oleh awak media.
Agus Uriansyah menilai, sikap diam perusahaan semakin menambah kekecewaan masyarakat. “Perusahaan harus bertanggung jawab. Jangan sampai keberadaan tambang justru membawa mudarat bagi warga. Kalau terbukti melanggar, DLHK harus berani menindak sesuai aturan yang berlaku,” pungkasnya. (Adv/ed*)